Oleh : Rini Kustiasih
Kerusakan lingkungan yang parah di bumi kelahirannya, Bandung, Jawa Barat, menggerakkan hati Budi Brahmantyo untuk berbuat sesuatu. Dia Berupaya menumbuhkan kesadaran lingkungan kepada banyak orang melalui ilmu yang dipelajari dan digelutinya selama ini, geologi.
Budi yang sehari-harinya bertugas sebagai pengajar di program Studi Teknik Geologi di Institut Teknologi Bandung (ITB) prihatin dengan kondisi kerusakan lingkungan Kota Bandung. “Kota Kembang” yang awalnya dirancang untuk didiami 600.000 jiwa itu kini dipadati penduduk lebih dari 2,2 juta jiwa.
Daerah di sekitar Bandung, seperti Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat, pun tumbuh menjadi kawasan penyangga yang menyuplai aneka kebutuhan industri bagi Bandung. Perkembangan industri yang tidak memperhatikan kelestarian alam pada akhirnya berdampak pada degradasi lingkungan besar-besaran di wilayah Bandung, antara lain pencemaran di Sunagi Citarum serta perusakan wilayah karst (pegunungan kapur) di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.
Kondisi itu amat jauh dari gambaran masa lampau Bandung yang pada masa kolonial dijuluki “Parijs van Java”. Kota ini menjadi terkenal pada era 1920-an karena atosfer alam pegunungannya yang sejuk dan tata kotanya yang rapi. Bandung dan daerah sekitarnya menyerupai mangkuk atau cekungan karena dikelilingi jajaran pegunungan yang memanjang dari utara ke selatan.
Bentang alam tersebut memiliki nilai geologis yang tinggi. Cekungan Bandung amat kaya dengan jenis bebatuan dan mineral. Oleh karena itu, kerusakan lingkungan di Cekungan Bandung tidak hanya mengurangi daya tarik wilayah tersebut, tetapi juga merugikan pengembangan ilmu kebumian, termasuk geologi.
Atas dasar itulah, Budi mendirikan Kelompok Riset Cekungan Bandung (KCRB) pada 1999. Salah satu misinya adalah menggalakkan penelitian geologi dan mengampanyekan penyelamatan lingkungan di Cekungan Bandung.
“Penduduk kota ini kurang mengenal Bandung dan warisan alam yang dimiliki sehingga mereka dengan mudah merusaknya,” kata Budi yang meraih master geologi kuarter dari Universitas Niigata, Jepang.
Manusia Pawon
Salah satu keberhasilan monumental KRCB dalam bidang geologi ialah dengan penemuan kerangka manusia Pawon di Goa Pawon, Pegunungan kapur Padalarang pada tahun 2003. Anggota KRCB yang terlibat dalam penemuan itu, antara lain arkeolog Eko Yulianto dan ahli geografi T Bachtiar.
Budi dan rekan-rekannya berangkat dengan asumsi sederhana : jangan-jangan goa ini dimanfaatkan leluhur manusia Bandung untuk tempat tinggal? Sebab, sebelumnya pada tahun 1930 paleontolog asal Jerman, GHR Von Koenigswald, berhasil mengumpulkan peninggalan arkeologis berupa alat-alat dari batu obsidian di sekitar perbukitan yang mengelilingi daratan Bandung.
Temuan itu menjadikan Goa Pawon sebagai situs kuburan manusia prasejarah pertama dan satu-satunya di Jawa Barat dan Banten. Temuan itu sekaligus menguatkan asumsi bahwa manusia purba dulu pernah tinggal di wilayah pegunungan karst Bandung.
Kawasan itu juga menjadi bukti bahwa Cekungan Bandung dulunya adalah dasar lautan. Karst itu menunjukkan bekas bebatuan karang, koloni tumbuhan dan binatang yang dulu hidup di dasar lautan.
“Kawasan ini sangat langka. Seharusnya kawasan ini dijadikan monumen sejarah dan laboratorium ilmu kebumian, bukannya malah ditambang secara serampangan dan dihancurkan dengan dinamit,” katanya mengomentari kondisi terkini pegunungan kapur berusia 30 juta tahun itu yang dijarah penambang ilegal.
Jalan-jalan
Sekalipun merasa kurang mendapatkan dukungan dari pembuat kebijakan, Budi tak pantang menyerah menyelamatkan warisan geologi dan lingkungan di Cekungan Bandung. Ia mengaktifkan KRCB sekaligus sebagai wahana penyadaran masyarakat atas pentingnya kelestarian lingkungan.
Ia kemudian mengemas acara “jalan-jalan” dengan konsep wisata bumi edukatif. Setiap rombongan terdiri atas 25-30 orang diajak berwisata ke hutan, sungai, atau lembah-lembah di kawasan Cekungan Bandung. Budi memnadu dan menjelaskan setiap detail lokasi kepada perserta. Di luar dugaan, kegiatan ini mendapatkan apresiasi dari banyak warga. Sering kali tiket wisata sudah habis dipesan dalam sepekan setelah diumumkan. Harga tiket bervariasi antara Rp. 50.000 Rp. 100.000, bergantung pada lokasi tujuan. Itu pun hanya digunakan untuk keperluan transportasi dan makanan ringan peserta sendiri.
Dengan caranya yang santai dan tak menggurui, Budi menerangkan tentang bebatuan obsidian yang ternyata paling banyak ditemukan di daerah Nagrek, Kabupaten Bandung. Tidak jarang Budi menyelipkan cerita-cerita rakyat yang menyertai pembentukan suatu kawasan. Budi menyakini, dengan lebih banyak orang yang mengetahui sejarah dan potensi lingkungan Cekungan Bandung, mereka akan mencintai Bandung dan selanjutnya ikut menjaga.
Tanggapan peserta terhadap kegiatan wisata bumi itu pun sangat positif. Seperti diungkapkan beberapa peserta, saat Budi mengajak mereka dalam wisata Radio Malabar akhir November 2009. Peserta mendapatkan pengetahuan baru bahwa kontur Gunung Puntang di jajaran Pegunungan Malabar ternyata menyerupai cekungan sehingga dimanfaatkan Belanda untuk membuat transmisi radio di Hindia Belanda.
Budi juga getol mengajak mahasiswanya untuk turun turun ke lapangan. “Mahasiswa bisa belajar banyak di lapangan. Dengan lebih sering turun ke lapangan, saya justru menemui hal-hal baru yang sering kali tidak ditemui di buku,” katanya.
Budi berpegangan pada prinsip memnafaatkan alam dengan tidak melebihi kebutuhan kita sebagai manusia. Sebab, sekali alam rusak, maka rusak pulalah budaya dan sejarah yang menyertainya.
“Tidak menghargai alam sama saja dengan tidak menghargai akar kita sendiri sebagai manusia,” ujarnya. (Sumber : kompas, 13 Januari 2009)