Oleh : Dr. Ir. Budi Brahmantyo, M.Sc

Bermula dari audiensi Pusat Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan (P-P2Par) ITB ke PT Antam di Bogor, akhirnya dapat mengunjungi kawasan tambang emas bersejarah Cikotok, Banten Selatan. Tadinya audiensi ke PT Antam adalah untuk bertukar pikiran mengenai agrowisata pascatambang Pongkor, namun kemudian berkembang ke arah edutourism, sustainable tourism, geowisata, dan  wisata ex-tambang. Ujung-ujungnya setelah berdiskusi dengan Ir. Agus Yulianto, salah seorang direksi PT Antam lulusan Jurusan Tanah IPB, ia mengusulkan kepada P-P2Par ITB untuk meninjau Cikotok. Jadilah ini kunjungan ketiga ke Cikotok setelah tahun 1984 sewaktu masih mahasiswa Teknik Geologi ITB, dan 1999 sewaktu mengikuti perlatihan sumber daya mineral di Pusdiklat Geologi.

Dua kunjungan terdahulu mempunyai kesan yang tidak dapat dilupakan. Tahun 1984 ketika ekskursi Geologi Ekonomi dengan dosen Ir. Djadjat Sudardjat Madsam (alm), diakhiri dengan serangan diare. Mulanya dalam perjalanan pulang malam dengan bus ITB, Abdul Qodir seorang teman, tiba-tiba meminta sopir bus berhenti. Masih dalam kantuk yang mendera seluruh peserta ekskursi, tadinya merasa kebingungan mengapa bus berhenti di tengah-tengah hutan Leuwiliang Bogor di tengah malam. Saat tahu Abdul Qodir terburu-buru turun dari bus dan segera mencari rumpun semak di pinggir jalan untuk buang hajat besar, semua tertawa riuh.

Saya pun tertawa nikmat sekali melihat kelakuan teman yang satu itu. Saat bus berjalan kembali, belum hilang perasaan lucu itu, ketika tiba-tiba saya merasakan ada yang salah di dalam perut. Rasa melilit segera membelit seluruh perut. Lalu seperti aktivitas magma yang sudah sangat meninggi, eksplosi tidak dapat ditahan lagi. Sama seperti Qodir, saya pun minta bus berhenti. Saat bus berhenti, mengibritlah saya keluar bus dan segera berjongkok di rumpun pinggir jalan. Kini giliran saya ditertawakan Qodir dan seluruh penumpang bus.

Setelah seluruh magma meledak keluar, betapa lega perut ini. Dalam sisa perjalanan, tidur pun cukup nikmat, hingga subuh datang menjelang. Lalu inilah klimaksnya. Saat bus berhenti untuk mengisi BBM, berhamburanlah hampir sebagian besar teman-teman memburu toilet yang hanya satu di SPBU itu. Kepanikan melanda mereka yang harus antre sambil teriak-teriak agar cepat dan menggedor-gedor pintu toilet, sementara yang sudah berada di dalam tidak kalah sengit berteriak bahwa hajatnya belum selesai. Rupanya aktivitas magma mereka baru terasa bersamaan di SPBU ini. Nah, kini giliran saya dan Abdul Qodir yang tertawa terkekeh-kekeh melihat kelakuan teman-teman yang tadi malam menertawakan kami.

Setelah dipikir-pikir akhirnya kecurigaan penyebab serangan diare yang melanda hampir semua mahasiswa dipastikan dari menu sayur buncis sebagai hidangan makan malam yang memang sebenarnya sudah terasa masam basi. Dasar mahasiswa, masakan sudah rada basi pun dihajar pula, dan… begitulah akibatnya.

Kunjungan kedua ke Cikotok adalah saat ekskursi pelatihan sumber daya mineral yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Geologi tahun 1999. Berbeda dengan pengalaman semasa mahasiswa yang lucu, kunjungan kedua kali ini sangat tragis. Seorang peserta pelatihan dari Lemigas mendapat serangan jantung. Beberapa hari kemudian setelah kembali di Bandung, saya mendapat kabar bahwa bapak yang mendapat serangan jantung itu akhirnya meninggal dunia. Sangat mengejutkan karena selama pelatihan berlangsung justru bapak itulah yang paling aktif dan banyak bercanda membawa suasana riang di tengah-tengah kesuntukan pelatihan.

Kini, kali yang ketiga ke Cikotok, situasinya sangat jauh berbeda. Kali ini datang berkunjung atas undangan PT Antam untuk suatu penjajagan pengembangan wisata pasca-tambang. Berangkatlah saya ditemani staf dari P-P2Par, Ina H. Koswara dan Ervi Virna Nursanti di awal Maret 2010 ketika BMKG mengumumkan kewaspadaan adanya cuaca ekstrim di Pulau Jawa. Tetapi perjalanan dari Bandung ke Palabuhanratu dan diteruskan ke Bayah, justru dinaungi matahari yang bersinar cerah sepanjang hari. Saat berdiri di atas jembatan Ci Bareno – batas geografis pemisah provinsi Jawa Barat dan Banten – matahari tepat bersinar terik di atas ubun-ubun. Perjalanan melintasi pegunungan Bayah pun ditempuh dengan lancar di atas jalan aspal yang mulus, sekalipun turun naik dalam kelokan-kelokan tajam.

Secara geologis, daerah ini telah lama dikenal berada pada zona fisiografis Kubah Bayah. Kondisi struktur geologinya kompleks, campur aduk antara perlipatan, penyesaran, pengangkatan, terobosan-terobosan batuan beku, dan endapan-endapan gunung api tua. Umurnya terentang dari Eosen hingga Pliosen. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya menyusun peta geologi daerah ini dalam relief topografi yang sangat kasar, dengan medan turun naik dan lereng-lereng terjal. Sujatmiko dan S. Santosa telah memetakannya dalam skala 1:100.000 dan dipublikasikan pada tahun 1992.

Formasi batuan tertua berumur Eosen disebut sebagai Formasi Bayah yang diendapkan pada lingkungan transisi daratan/sungai ke delta dan laut dangkal. Formasi ini tersebar di sekitar Kota Bayah yang pada kunjungan sekarang berkembang menjadi kota yang ramai. Lokasi wisata Karangtaraje dan Pulau Manuk berupa tanjung dan pantai terjal berbatu merupakan ekspresi permukaan formasi ini. Ke arah barat dari Bayah, formasi ini tersebar hingga Ci Hara, sungai yang membawa bongkah-bongkah batu granit dan granodiorit.

Di Cikotok sendiri, urat-urat emas berada pada endapan gunung api tua Formasi Cikotok yang dulu dikenal sebagai Formasi Andesit Tua. Formasi ini terkenal karena sebarannya yang luas dan menempati wilayah-wilayah di selatan Pulau Jawa. Formasi inilah yang diperkirakan pada Kala Oligosen Akhir hingga Miosen Awal sekitar 30 – 23 juta tahun yang lalu, merupakan inti Pulau Jawa purba. Deretan pusat-pusat gunung api atau dikenal sebagai busur magmatik berada pada jalur di selatan Pulau Jawa purba. Tentu saja, bagian tengah hingga utara Pulau Jawa sekarang yang ditempati gunung-gunung api Kuarter dan padat oleh perkotaan, dulunya masih berupa laut.

Pergerakan tektonik sejak 30 juta tahun yang lalu hingga sekarang telah menggeser busur-busur itu. Proses evolutif itu menjadikan bagian selatan terangkat naik, kemudian tererosi, dan memunculkan lanskap yang luar biasa. Pegunungan terjal, perbukitan karst dan lipatan, jalan turun naik yang berliku-liku, pantai-pantai yang indah, serta potensi-potensi sumber daya mineralnya, memberi berkah bagi Banten Selatan. Alam telah berproses jutaan tahun untuk kita ambil manfaatnya, tetapi harus kita kelola secara bijak. Inilah bagian yang paling sulit.

Cikotok sendiri telah dikenal sebagai kawasan tambang emas sejak lama. Daerah ini telah dikembangkan oleh Belanda sedikitnya sejak tahun 1936. Sebelumnya, penelitian geologis telah dilakukan sejak 1924 hingga 1930 oleh Ir. W.F. Oppenoorth yang dilanjutkan dengan pekerjaan eksplorasi dan pemetaan hingga 1936. Pada tahun inilah perusahaan Belanda N.V. Mijnbauw Maatschapij Zuid Bantam (MMZB) mulai membangun tambang emas hingga 1939 ketika terpaksa terhenti sampai 1942 akibat terjadinya Perang Dunia II.

Selama pendudukan Jepang 1942 – 1945, kegiatan tambang dikerjakan oleh perusahaan Jepang Mitsui Kosha Kabushiki Kaisha tetapi tidak menambang emas melainkan timah hitam timbal (Pb) di Cirotan. Penambnagan timbal dilakukan Jepang untuk keperluan produksi amunisi.

Setelah Indonesia merdeka 1945, praktis penambangan tidak berlanjut hingga 1948, ketika Belanda datang kembali menguasai Indonesia. NV MMZB kembali masuk ke Cikotok tetapi kemudian tidak melanjutkan usahanya karena kondisi tambang yang sangat parah sejak ditinggalkan Jepang.

Di bawah pemerintahan Soekarno, akhirnya tambang emas Cikotok diresmikan pada 12 Juli 1958 dengan pengusahaan dikerjakan oleh NV Tambang Emas Tjikotok (TMT) yang berada di bawah manajemen NV Perusahaan Pembangunan Pertambangan (P3). Setelah beberapa kali berganti induk perusahaan, pada tanggal 5 Juli 1968 tambang emas Cikotok dikelola oleh PN Aneka Tambang (BUMN) yang lalu berubah menjadi PT Aneka Tambang sejak 1974 dan sekarang kemudian dikenal sebagai PT Antam.

Setelah mendulang ribuan ton emas dan perak dari perut bumi Cikotok, Cirotan, dan Cikidang, akhirnya cadangannya habis juga. Saat sekarang yang tersisa adalah urat-urat kecil dengan kadar emas yang hanya menguntungkan secara ekonomis untuk para gurandil, sebutan miris bagi para penambang rakyat. Mereka bertaruh dengan nyawanya untuk membuat lubang-lubang seukuran tubuhnya sendiri masuk sedalam 50 hingga 100 m ke dalam tanah untuk mendapatkan satu atau dua gram emas per hari.

Tahun 2005 sisa-sisa cadangan logam mulia telah menunjukkan batas-batas terakhirnya. Sejak tahun itu pula produksi penambangan emas semakin terus menurun hingga akhirnya satu per satu lubang-lubang tambang ditutup. Contohnya, pintu lubang tambang horisontal Cirotan diblok dengan beton. Kini bekas tambang itu menjadi bagian dari kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Halimun – Salak.

Bagian yang tersisa adalah beberapa fasilitas tambang yang masih berada di Cikotok. Di antaranya yang sangat bersejarah adalah derek vertikal untuk menaik-turunkan pekerja tambang atau bebatuan sedalam 100 m, serta bangunan pabrik pengolahan di Pasir Gombong yang tampak seperti puing-puing yang merana. Keduanya adalah bangunan tambang pertama kali dibuat oleh Belanda pada 1936 dan sekarang dilindungi oleh Balai Kepurbakalaan sebagai artefak benda cagar budaya. Kawasan tambang emas yang telah dikenal dalam buku-buku Ilmu Bumi sejak saya duduk di sekolah dasar pada tahun 1970-an itu akhirnya akan ditutup total pada 2011.

Bagaimana masa depan kawasan tambang emas Cikotok dengan segala fasilitasnya setelah ditinggalkan PT Antam? Akankah berubah menjadi ‘kota hantu’? Begitulah istilah yang biasa diterapkan pada kota-kota tambang yang ditinggalkan, setelah cadangan mineralnya habis tergali.

en_GBEnglish