Ketika jalan tol Cipularang resmi dibuka pada 2005, tak ayal lagi perubahan terhadap Kota Bandung mulai dirasakan. Dengan akses Cipularang yang memangkas waktu tempuh Jakarta-Bandung menjadi hanya dua setengah jam, tumpah ruahlah kendaraan bernomor polisi B memadati jalan-jalan sempit Kota Bandung. Di satu sisi, Kota Bandung mendapatkan keuntungan ekonomi luar biasa dengan kunjungan warga Jakarta yang membelanjakan uangnya di toko-toko dan warung-warung. Namun, di sisi lain, kemacetan lalu lintas kota tidak dapat terelakkan.

Sudah menjadi ungkapan umum jika pada hari Sabtu-Minggu, Kota Bandung menjadi milik warga Jakarta. Apalagi  jika akhir pekan jatuh bersamaan dengan libur panjang seperti di akhir tahun 2009 lalu. Seolah-olah sebagian besar warga Jakarta tumplak di Kota Bandung. Beberapa destinasi wisata favotir di luar Kota Bandung pun, seperti jalur Bandung – Lembang – Tangkubanperahu dan Bandung – Ciwidey – Kawah Putih, padat baik oleh kendaraan probadi maupun bus-bus besar.

Di hari Sabtu-Minggu, Bandung seolah-olah telah memenjarakan warga kotanya sendiri! Namun sebagai warga kota besar, warga Bandung tentu saja perlu juga berekreasi. Dengan situasi Bandung yang padat di akhir pekan, kunci melarikan diri dari Bandung sebenarnya adalah : gunakan angkutan umum, tinggalkan kendaraan pribadi di garasi rumah, atau pergi pagi kembali malam.

Wisata Kereta Api

Ada alternatif lain yang jarang dipilih warga kota, yaitu memanfaatkan jasa kereta api. Banyak pilihan dengan tujuan wisata yang menarik melalui moda kereta api di luar jalur-jalur di sekitar Bandung yang sudah pasti padat. Misalnya dengan KRD Baraya Geulis yang melayani Padalarang – Cicalengka, warga kota mendapat kesempatan memilih tujuan yang diinginkan pada jalur barat – timur Bandung Raya.

Di ujung barat, turun di Stasiun Padalarang, terdapat pilihan wisata Gua Pawon atau diteruskan ke arah Saguling dengan objek Bendungan Saguling, Gua Sangiangtikoro, atau alternatif berarung jeram di Citarum. Di ujung timur, turun di Stasiun Cicalengka, pilihan cukup menarik adalah Air Terjun (curug) Sindulang. Wisata dapat diteruskan ke arah daerah Kendan, Nagreg, suatu tempat yang diperkirakan sisa-sisa Kerajaan Kendan dari abad ke-7 tempat ditemukannya pecahan batu obsidian yang merupakan sumber batu alamiah peralatan batu purba di Cekungan Bandung.

Kereta api diesel (KRD) Baraya Geulis (BG) memang hanya dimaksudkan sebagai moda angkutan mengantar penumpang yang ingin berwisata ke lokasi-lokasi sepanjang jalur Padalarang – Bandung – Cicalengka. KRD BG tidak dirancang sebagai kereta api wisata yang bermakna sebagai kereta api yang melayani jalur wisata di sepanjang perjalanannya.

Jika anda pernah menggunakan Amtrak yang menghubungkan pantai barat Amerika ke bagian tengah utara dengan waktu tempuh 50 jam, untuk menghilangkan kebosanan, Amtrak bekerjasama dengan Taman Nasional menempatkan beberapa petugas di gerbongnya. Petugas tersebut bertindak sebagai interpreter ketika kereta api melintasi bagian dari Taman Nasional, dengan memperlihatkan bentang alam atau pemandangan tertentu.

Rangkaian gerbong Amtrak menyediakan gerbong observasi dengan kursi menghadap jendela kaca yang besar. Dengan demikian, penumpang dapat leluasa melihat pemandangan di luar kereta api. Amtrak juga menyediakan booklet wisata dengan peta dan penjelasan objek-objek apa yang menarik di sepanjang perjalanan, dan di sisi jendela yang mana. Jadi, penumpang akan berpindah-pindah tempat duduk jika tertarik untuk menikmati pemandangan di luar kereta api sesuai dengan jalur yang ditunjukkan pada peta.

Si Argo Peuyeum

Sebenarnya, gaya wisata kereta api Amtrak bisa dicoba pada jalur bersejarah antara Bandung – Cianjur. Juli 2009, suatu penjajagan dengan wisatawan minat khusus sengaja diselenggarakan dengan menggunakan satu-satunya rangkaian kereta api ekonomi dengan hanya dua gerbong penumpang dan lokomotif jenis BB yang melayani Bandung – Cianjur. Entah karena nantinya melewati Stasiun Cipeuyeum, atau banyak penumpangnya berprofesi sebagai tukang peuyeum, atau karena kereta api tersebut sangat merakyat, masyarakat mengenal kereta api ini sebagai Si Argo Peuyeum, pelesetan kereta api eksekutif seperti Argo Gede atau Argo Wilis.

Dengan hanya membayar tiket yang sangat murah sebesar Rp 1.500- rombongan berangkat dari Stasiun Ciroyom. Kereta api berhenti di setiap stasiun, kecuali Andir. Jadi setelah Cimindi, Cimahi, Gadobangkong, lalu Padalarang, dua gerbong itu sudah begitu sesak. Tidak hanya oleh penumpang, tetapi juga ikut berbaur hilir mudik para pengamen dan para pedagang asongan yang berteriak keras menawarkan dagangannya.

Bayangkan bagaimana sang interpreter – walaupun dengan menggunakan megafon – berusaha menjelaskan geologi Bandung sepanjang jalur Ciroyom – Padalarang berebutan suara dengan kegaduhan-kegaduhan itu. Menariknya, penumpang biasa yang bukan peserta wisata pun terbawa juga untuk mengikuti petunjuk interpreter ketika menjelaskan objek di sisi kiri atau kanan jendela kereta api.

Setelah melewati Stasium Padalarang, Si Argo Peuyeum seolah-olah menjadi raja rel baja karena jalurnya mulai tersendiri dan terpisah dengan jalur ramai Bandung – Purwakarta – Jakarta. Mendaki di Tagogapu pada perbukitan batu kapur berumur 30 juta tahun, kereta api selanjutnya akan menyusuri lembah Cimeta yang dalam geologi Bandung, sungai ini merupakan Citarum purba sebelum terbendung di Ngamprah Padalarang oleh produk letusan Gunung Sunda Purba dan Gunung Tangkubanperahu.

Akhirnya, peserta wisata turun di Stasium Cipeuyeum dan melanjutkan dengan bus ke arah Cianjur lalu terus hingga Stasiun Lampegan. Jika jalur Cianjur – Cibeber – Lampegan telah selesai diperbaiki, sebenarnya kereta api mengarah ke Stasium Lampegan dengan terowongannya yang dibangun antara tahun 1875 – 1882. Penggunaan bus pada penjajagan wisata dengan tujuan akhir Situs Gunung Padang tersebut hanyalah pengalihan agar dicapai waktu yang tepat sebelum kesorean.

Peserta wisata ketika berhasil mendaki kira-kira sebanyak 378 anak tangga kolom batu di Situs Gunung Padang, mendapat “pencerahan” dan pengalaman luar biasa. Sejak berangkat dari Stasiun Ciroyom, sepanjang perjalanan kereta api yang berbaur dengan masyarakat kalangan bawah sampai Cipeuyeum, serta menikmati sejuknya udara di dalam terowongan Lampegan dan pemandangan perkebunan teh Panyairan serta punden berundak Situs Gunung Padang, rasanya tidak ada lagi wisata lengkap yang dapat ditawarkan di mana pun.

Begitulah salah satu cara melarikan diri yang cerdas dari kesumpekan Kota Bandung di akhir pekan. Dengan sarana kereta api yang sudah ada, kita bisa memanfaatkan kegiatan wisata yang lain daripada yang lain. Apalagi jika PT KA kreatif mengembangkan jalur ini sebagai jalur wisata kereta api dengan rangkaian yang terpisah dari Si Argo Peuyeum. Tentu dengan harga tiket yang jauh berbeda. (Budi Brahmantyo, Kepala Pusat Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan/P-P2Par ITB; staf Prodi Teknik Geologi FITB, ITB; koordinator Kelompok Riset Cekungan Bandung/KRCB).

(Sumber : Pikiran Rakyat, 26 Januari 2010)

en_GBEnglish